Nama : Stephanie Octaviani
Kelas : 4EB19
NPM : 21209655
Tugas : Akuntansi Internasional
Dosen : DINI
ANDRIYANI
Memahami Kasus L/C Bank
BNI dari Aspek Teknis Perbankan
Sutan Remy Sjahdeini
KASUS manipulasi surat kredit (letter of credit)
yang terjadi di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk makin banyak diberitakan
di berbagai media cetak dan elektronik. Pemberitaan yang makin meluas tersebut
bukannya makin membuat kejelasan bagi masyarakat mengenai apa yang sebenarnya
terjadi, tetapi makin membingungkan. Banyak pertanyaan timbul bagi orang awam
yang menyangkut teknik operasionalisasi L/C dan aspek hukumnya. Dalam tulisan
ini, penulis akan memberikan ulasan mengenai kasus ini dilihat dari teknik
perbankan yang menyangkut operasionalisasi L/C dan aspek hukumnya.
KASUS bermula dari diterimanya L/C bernilai Rp 1,7
triliun oleh Bank BNI Cabang Kebayoran Baru. L/C tersebut dibuka oleh bank-bank
yang selain bukan merupakan koresponden Bank BNI, juga bank-bank yang berasal
dari negara-negara dalam kategori berisiko tinggi (high risk countries).
Bank-bank tersebut adalah
Dubai Bank Kenya Limited; Rosbank Switzerland SA; Middle East Bank Kenya Ltd;
dan The Wall Street Banking Corp, Cook Islands Beneficiary (eksportir).
Sementara yang menerima L/C adalah perusahaan-perusahaan dalam Gramarindo Group
dan Petindo Group. Komoditas yang diekspor adalah pasir kuarsa dan residu minyak
dengan negara tujuan Kenya dan beberapa negara di Afrika.
Apa yang seharusnya dilakukan
kantor cabang bank penerima L/C (dalam hal ini BNI Kebayoran Baru) ketika
menerima dan menegosiasi L/C tersebut? Bank BNI memiliki buku pedoman
perusahaan (BPP) yang merupakan buku pegangan kerja bagi setiap petugas,
termasuk sistem pengamanan L/C. Sebelum L/C tersebut diteruskan kepada
eksportir, pertama-tama yang harus dilakukan Bank BNI Kebayoran Baru adalah
membuat/mengisi work sheet. Work sheet tersebut merupakan lembaran catatan bank
yang akan selalu diisi dan menjadi pedoman petugas-petugas bank dalam menangani
L/C tersebut, yaitu mulai dari saat L/C itu diterima sampai saat L/C itu
dinegosiasikan dan dibayar. Dengan kata lain, work sheet itu harus selalu
berada di dalam pending file. Dalam work sheet itu harus dicatat hal-hal yang
menyangkut rincian L/C.
Antara lain siapa bank pembuka
(issuing atau opening bank), nomor dan tanggal L/C, siapa eksportirnya, untuk
komoditas apa (barang yang diekspor), berapa jumlah satuan atau beratnya,
berapa nilainya dan dalam mata uang apa, batas waktu L/C (expiry date), dan
batas waktu tanggal bill of lading (dokumen pengangkutan kapal). Selain itu,
dicatat pula apa syarat-syarat L/C, antara lain apakah L/C itu merupakan usance
L/C (artinya, wesel ekspor yang harus dibuat eksportir adalah wesel ekspor
berjangka yang harus dibayar importir dalam jangka waktu tertentu, misalnya 90
hari setelah wesel itu diterima importir). Atau L/C tersebut merupakan sight
L/C (artinya, wesel ekspor yang harus dibuat oleh eksportir adalah wesel ekspor
yang harus segera dibayar seketika wesel itu diterima importir). Atau mungkin
juga itu merupakan standby L/C (SBLC), yakni L/C yang berfungsi sebagai jaminan
untuk pembiayaan yang diberikan bank pembuka L/C kepada beneficiary L/C. Dalam
kasus Bank BNI, L/C tersebut merupakan usance L/C dan SBLC.
Dicatat pula dalam work sheet
tersebut adalah dokumen-dokumen apa saja selain wesel ekspor yang harus
diserahkan oleh eksportir kepada negotiating bank atau paying bank (bank
pembayar, dalam hal ini Bank BNI Kebayoran Baru).
Dalam work sheet, bank
penerima L/C harus mencatat keganjilan-keganjilan (unusualities) dilihat dari
ketentuan intern bank penerima (dalam hal ini Bank BNI), kebiasaan-kebiasaan
yang berlaku bagi transaksi bisnis yang terkait dengan transaksi L/C tersebut,
dari ketentuan Bank Indonesia, dari UCP 500 (ketentuan internasional yang
mengatur tentang L/C), dari peraturan perundang-undangan Indonesia.
Pada waktu bank penerima melakukan negosiasi
(mengambil alih) wesel ekspor dan dokumen-dokumen ekspor lainnya, petugas bank
harus memeriksa apakah dokumen-dokumen yang diserahkan eksportir terdapat
kesesuaian (comply with) dengan syarat-syarat L/C.
Bila tidak terdapat kesesuaian (terjadi
discrepancies), dalam work sheet harus dicatat pula. Selain itu, dalam work
sheet dicatat pula apa yang telah dilakukan bank penerima berkaitan dengan
adanya discrepancies tersebut.
Pertanyaan sehubungan dengan kasus ini adalah
apakah Bank BNI Kebayoran Baru telah mengisi work sheet tersebut? Menurut
informasi, Bank BNI Kebayoran Baru ternyata tidak membuat work sheet, sedangkan
work sheet merupakan salah satu sarana pengamanan bagi para petugas dan pejabat
bank yang terkait dan bertanggung jawab dengan L/C tersebut.
SEBAGAIMANA telah dikemukakan di atas, bank-bank
pembuka L/C tersebut bukan koresponden Bank BNI. Apakah bank penerbit L/C
(issuing bank) harus merupakan bank koresponden? Bank pembuka L/C tidak selalu
harus bank koresponden.
Apabila bank penerima L/C ingin bertindak sebagai
paying bank, misalnya karena eksportir adalah nasabah baiknya, bank harus
menerima konfirmasi terlebih dahulu dari bank pembuka L/C tersebut.
Apabila bank pembuka bukan bank koresponden, bank
penerima seyogianya hanya bertindak sebagai advising bank saja. Artinya, bank
penerima tersebut hanya bertindak sebagai bank yang meneruskan L/C kepada
beneficiary saja tanpa memberikan kesanggupan untuk bertindak sebagai paying
bank.
Dalam hal bank pembuka bukan bank koresponden,
bank penerima L/C dapat bertindak sebagai paying bank hanya apabila L/C
tersebut dijamin oleh salah satu bank koresponden atau oleh salah satu bank
berperingkat "triple A".
Mengapa
disyaratkan bahwa bank pembuka L/C harus suatu bank koresponden? Hal ini
disebabkan dengan bank koresponden tersebut ada suatu perjanjian hubungan
koresponden yang memuat, antara lain pemberian credit line (pendanaan) untuk
masing-masing transaksi
Pertanyaan
lain adalah apakah cabang bank penerima L/C dibatasi kewenangannya untuk
bertindak sebagai paying bank? Suatu cabang bank penerima pada umumnya dibatasi
kewenangannya oleh direksi bank untuk mengambil alih wesel ekspor dan
membayarnya.
Dalam
kasus Bank BNI, ternyata L/C tersebut tidak dibuka dalam satu L/C dengan jumlah
yang sekaligus besar, tetapi dipecah-pecah menjadi banyak L/C yang jumlah untuk
masing-masing L/C masih dalam batas kewenangan pemimpin cabang.
Dengan
demikian, kantor cabang bank yang bersangkutan tidak perlu harus meminta
persetujuan atasannya (dalam hal kasus ini adalah sampai ke tingkat kantor
wilayah atau kantor besar).
Menurut
ketentuan Undang-Undang Perbankan, bank harus selalu berhati-hati dalam
melaksanakan kegiatan usahanya. Berkenaan dengan transaksi L/C Bank BNI
Kebayoran Baru tersebut, kehati-hatian bank itu antara lain menyangkut siapa
yang menjadi beneficiary L/C.
Apakah
beneficiary adalah nasabah bank penerima dan bagaimana reputasinya selama ini?
Apakah beneficiary memiliki kemampuan untuk melaksanakan transaksi komoditas
sebagaimana yang dimaksud dalam L/C.
Apabila,
misalnya, transaksi itu bukan merupakan bidang usaha beneficiary yang
digelutinya selama ini, bank seyogianya waspada. Keharusan untuk bank
berhati-hati itu ditentukan dalam Pasal 2 Undang-Undang No 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No 10
Tahun 1998.
Pelanggaran
terhadap ketentuan itu dapat diancam dengan pidana penjara dan pidana denda
berdasarkan Pasal 49 Ayat (2) Huruf b Undang-Undang Perbankan.
APAKAH
kehati-hatian itu sudah dilakukan Bank BNI Kebayoran Baru? Apabila menurut
penelitian bank penerima beneficiary bukan merupakan beneficiary yang bonafide,
Bank BNI Kebayoran Baru seyogianya tidak mengambil alih wesel ekspor berjangka
dengan mendiskonto wesel yang diajukan oleh eksportir.
Yang
dimaksudkan dengan mengambil alih wesel ekspor berjangka tersebut dengan
mendiskonto adalah membayar harga wesel sekarang dengan harga yang lebih murah
daripada nilainya karena bank baru bisa memperoleh pembayaran untuk nilai penuh
wesel itu pada jatuh waktunya yang masih beberapa bulan lagi (pada umumnya 90
hari setelah wesel diterima oleh bank pembuka L/C).
Sepengetahuan
penulis, sistem dan prosedur pengamanan transaksi L/C, khususnya di bank-bank
BUMN, termasuk Bank BNI, cukup baik karena telah dibangun dan disempurnakan
selama bertahun-tahun, antara lain berdasarkan pengalaman- pengalaman pahit
masa lampau.
Akan
tetapi, sistem pengamanan yang baik saja tidak cukup. Masih diperlukan sikap
dari para petugasnya. Sekalipun sistem pengamanan sudah demikian baik, tetapi apabila
para petugas bank sengaja melanggar sistem dan prosedur dengan tujuan yang
tidak baik, bank akan kebobolan juga.
Bank
selalu dihadapkan pada pilihan dilematis antara pengamanan dan pelayanan kepada
nasabah. Pengamanan yang terlalu ketat akan menghasilkan pelayanan yang
mengecewakan nasabah.
Sebaliknya,
pelayanan yang dirasakan sangat memuaskan nasabah akan mengorbankan sistem
pengamanan. Menghadapi dilema ini, bank harus bijak dan mampu membangun
prosedur kerja yang tetap dapat menjamin keamanan, namun pelayanan bank
memuaskan bagi nasabah.
Dari
penelitian, ternyata transaksi dalam kasus Bank BNI ini merupakan transaksi
bermasalah dengan indikasi transaksi tersebut dilakukan tanpa mengikuti
ketentuan intern Bank BNI. Transaksi usance L/C kedua grup usaha yang menjadi
beneficiary telah dinegosiasikan oleh Bank BNI Kebayoran Baru dengan diskonto
tanpa didahului adanya akseptasi dari bank penerbit.
Di
samping itu, dokumen-dokumen L/C mengandung penyimpangan dan negosiasi L/C
dilakukan tanpa kelengkapan dokumen.
Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh
kantor besar Bank BNI, para eksportir, yaitu perusahaan-perusahaan yang
termasuk Gramarindo Group dan Petindo Group ternyata telah melakukan ekspor
fiktif.
Hal ini terungkap antara lain dari hasil verifikasi
kepada Pejabat Bea Cukai cabang Belitung menyangkut Pemberitahuan Ekspor Barang
(PEB) Gramarindo Group, Pejabat Bea Cukai cabang Belitung menyatakan bahwa PEB
tersebut palsu.
Sementara itu pula, penyelesaian pembayaran hasil
transaksi ekspor (proceed) dari beberapa slip L/C tersebut yang telah
dinegosiasikan dilakukan bukan oleh bank pembuka L/C (issuing bank), melainkan
dilakukan oleh para eksportir sendiri dengan cara melakukan penyetoran atau
melalui pendebetan rekening para eksportir tersebut.
Sebagaimana diketahui, atas laporan kantor besar
Bank BNI pada tanggal 30 September 2003, pihak kepolisian telah menahan pegawai
Bank BNI Kebayoran Baru yang terlibat, yaitu Koesadiyuwono (mantan pemimpin
cabang Bank BNI Kebayoran Baru) dan Edi Santoso (mantan Customer Service
Manager Luar Negeri cabang Bank BNI Kebayoran Baru).
Sutan
Remy Sjahdeini Guru Besar Hukum Perbankan dan Mantan Bankir
Berikut
Hasil Analisa dari Kasus diatas :
Pembeli (Buyer) : Koesadiyuwono (mantan pemimpin
cabang Bank BNI Kebayoran Baru) dan Edi Santoso (mantan Customer Service
Manager Luar Negeri cabang Bank BNI Kebayoran Baru).
Penjual (Seller) : perusahaan-perusahaan
yang termasuk Gramarindo Group dan Petindo Group ternyata telah melakukan
ekspor fiktif.
Bank Eksportir : Dubai Bank Kenya
Limited; Rosbank Switzerland SA; Middle East Bank Kenya Ltd; dan The Wall Street
Banking Corp, Cook Islands Beneficiary (eksportir).
Bank Importir : Bank BNI
Barang yang diperjualbelikan : Komoditas yang
diekspor adalah pasir kuarsa dan residu minyak dengan negara tujuan Kenya dan
beberapa negara di Afrika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar